2/28/2011

hatred

this feeling growing and growing
kept me thinking what is wrong
my head kind of spinning
and my mouth couldn't resist to screaming:

fuck there
fuck here
FUCK YOU!



2/20/2011

face my disbelief

Religiosity is “the degree of one’s connection or acceptance of their religious institution, participation in church attendance and activities, as well as one’s regard for the leaders or the religion and church”(Alston, 1975).

Based on Alston definition of religiosity, saya bukanlah orang yang religius. Saya pergi ke gereja setiap minggu, karena keluarga saya mengharuskan. Saya tidak pernah aktif dalam acara keagamaan, atau jadi anggota organisasi keagamaan. Sekitar sejak dua tahun yang lalu, saya mulai meragukan agama. Saya meragukan pentingnya agama karena saya tidak pernah merasakan kedamaian dengan melakukan ritual agama saya. Oh ya, saya seorang Katolik, lahir, dibaptis, dan besar di lingkungan Katolik karena saya masuk sekolah Katolik sejak TK sampai SMA. Begitu pun, saya tidak pernah merasa "engaged" dengan agama saya. 

Tapi saya percaya Tuhan. Yes, I do. Saya percaya Dia ada, walaupun scientifically banyak orang meragukan keberadaan-Nya. And I believe in His power too, that's why I often talk to him when I was down. Or praise Him when I feel happy.  

Yang saya ragukan selama ini adalah ritual yang harus saya lakukan untuk berdoa pada-Nya. Mengapa harus menjalankan ritual kalau hati saya tidak merasa dekat dengan-Nya setelah melakukan ritual tersebut? Mengapa saya tidak boleh hanya berbincang dengan-Nya dimana saya merasakan kedekatan tersebut? 

In my opinion, ada kecenderungan manusia akan kebutuhan adanya simbol untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang tidak kelihatan, namun mereka percayai ada. That is where religion takes place. Manusia butuh cara untuk terhubung dengan Tuhan, then maybe that is when rituals formed. Dengan melakukan ritual, manusia merasa aman, bahwa masih ada harapan akan terwujudnya apa pun yang mereka inginkan dari Tuhan.

Saya? Saya pun begitu. Saya juga butuh penghubung. Namun selama ini saya merasakan penghubung satu-satunya saya dengan Dia adalah dengan mengobrol dengan-Nya, seolah-olah Dia sahabat saya. Hanya saat itu saya merasakan kedamaian dan ketenangan, bukan ketika pergi misa di gereja atau menerima komuni. Salahkah saya? Mungkin.

Kesalahan saya adalah saya tidak punya banyak pengetahuan tentang agama saya sendiri.Akhirnya saya simplify saja masalah agama. Saya tidak tahu apa gunanya ritual ini dan ritual itu. Now you can judge me. 

Dan sekarang, sebagai mahasiswa semester 8 yang sedang mengerjakan skripsi mengenai happiness dan religiosity, saya merasa saya perlu mempelajari agama saya. Sangat tidak bijaksana memutuskan tidak percaya pada sesuatu ketika saya tidak tahu benar tentang sesuatu itu. 

And yes, God has been good to me, to my life. So I think this is the time I try to know him better. And if the way to know Him better is by doing the rituals, so I think I should give it a try. Harder. Or at least menjalankan hal-hal baik menurut apa yang diajarkan agama kita masing-masing. Selama agama masih mengajarkan yang baik, I don't mind to give it a try. 



"We need to give Him our best in every area. 
And if we win, we praise Him; and if we lose we praise Him. 
Either way. We honor Him with our actions and our attitudes.” 
-- Grant Taylor (Facing the Giants)