6/18/2010

8 Days Lesson

Baru 8 hari saya menjalani magang di panti jompo Budi Mulya dan masih ada 12 hari lagi untuk menyelesaikan magang. Tapi selama 8 hari itu, rutinitas bangun pagi, berangkat pulang pergi naik bus sampai mendengarkan cerita kakek nenek di panti setiap harinya membuat saya merenung, entah pas perjalanan berangkat kerja atau pas pulang kerja.

Renungan itu dimulai ketika berangkat ke tempat magang di hari pertama magang. Dari kosan saya di daerah Kober, Depok, saya harus naik bus deborah sampai terminal Lebak Bulus terus nyambung lagi naik bus metro mini 72 untuk sampai ke tempat magang saya di daerah Radio Dalam. Pagi itu pertama kalinya saya merasakan berangkat pagi-pagi naik bus deborah (biasanya naik deborah kalo siang-siang itu pun jarang banget, bahkan seringnya saya hindari naik bus deborah kalau ga terpaksa banget) yang saya tau selalu penuh dan kalau naik bus itu dari halte di Kober, kemungkinan besar pasti ga dapet tempat duduk dan harus berdiri. Bus deborah setiap pagi ternyata lebih penuh sesak dibandingkan ketika siang hari, dan ya taulah gimana cara supir-supir bus di Jakarta mengemudikan kendaraannya, sering ngerem mendadak bikin penumpang yang berdiri ga nyaman dan perjalanan jadi terasa sangat melelahkan. Saya langsung membayangkan betapa capeknya menjalani 20 hari ke depan dengan perjalanan yang melelahkan naik bus deborah ini, dan jadi malu sendiri sempat berpikir kayak gitu karena banyak orang pasti harus menjalani kegiatan naik bus yang tidak nyaman ini, apalagi kalau harus berdiri di bus, setiap harinya. Selama ini saya hanya tidak cukup peduli dengan orang lain yang setiap harinya harus berjuang ke tempat kerja atau bahkan teman-teman saya sendiri yang setiap hari ke kampus naik bus.

Ketidaknyamanan berdiri di bus pagi itu sempat saya ungkapkan ke teman magang saya.
Saya : "Buset deh, naik bus di Jakarta harus pinter-pinter jaga keseimbangan yaa, ga enak banget berdiri di bus"
Teman saya : "Hahahaha iya banget ren"
Saya : "Mungkin atlet senam gitu biar jago latihan dasarnya dengan cara naik bus di Jakarta kali yaaa. Atlet senam gitu kan harus khatam yaa jaga keseimbangan hahaha"
Teman saya : ........ (memilih untuk senyum aja nanggepin omongan saya)

Karena teman saya memilih senyum aja menanggapi omongan saya, alhasil saya pun merenung sendiri: Hidup itu kayak naik bus kota di Jakarta. Untuk bisa survive bertahan berdiri selama perjalanan di bus kota, penumpang harus pintar-pintar menjaga keseimbangan. Memang ga mungkin untuk bisa berdiri seimbang dengan sempurna di bus kota, paling gak mendekati sempurna. Caranya bisa dengan pegangan pada apa saja di dalam bus, entah itu besi panjang yang difungsikan memang sebagai pegangan di atas, kursi penumpang, atau pegangan sama pintu bus etc. Well, untuk bisa survive dalam hidup, manusia juga harus pintar-pintar menyeimbangkan segala sesuatu dalam hidupnya: menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, menyeimbangkan kehidupan pertemanan dan pacaran, menyeimbangkan kegiatan kuliah dan bersenang-senang etc. Adalah hal yang dimaklumi kalau ga bisa seimbang dengan sempurna, tapi ya itu, kayak di bus kota, keseimbangan dalam hidup bisa diusahakan mendekati sempurna. Untuk bisa seimbang, manusia harus berpegang pada sesuatu, entah itu prinsip hidup, keluarga yang bisa diandalkan, atau cita-cita yang ingin diraih. Kalau manusia tidak berpegang pada sesuatu, kemungkinan besar ia akan gagal untuk survive dalam hidup, layaknya jatuh di dalam bus dan malunya minta ampuuuun.

Masalah keseimbangan hidup ini juga saya renungkan dari cerita seorang kakek di panti yang dulunya merupakan pengusaha sukses dan hidup mapan namun sekarang berada di panti jompo padahal beliau masih memiliki keluarga yang dapat mengurusnya. Apalagi beliau merupakan kakek yang masih tampak bugar dan sehat serta masih dapat berkomunikasi dengan baik. Singkat cerita, si kakek bercerita bahwa anaknya tidak mau mengurusnya karena ketika dulu ia masih bekerja, ia hanya sibuk bekerja dan tidak peduli pada anak-anaknya. Namun yang membuat saya tertegun adalah ketika dia mengatakan bahwa keberadaannya di panti jompo tersebut memang pantas baginya, ia anggap hal tersebut merupakan balasan karena dirinya dulu terlalu sibuk bekerja dan tidak peduli pada anak-anaknya. Dan sang kakek ikhlas menerima keberadaannya di panti jompo saat ini. Sedih sekali mendengar cerita si kakek, betapa seseorang yang begitu sukses harus menerima anaknya tidak mau mengurus dirinya ketika ia tua.

So then I think, maybe life is all about makes everything in balance. Thinking about my life, I still have a lot to do ahead then. Hmmmfff.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar