8/13/2010

sebuah porsi untuk sebuah kehidupan

Saya teringat pembicaraan saya dengan teman baik saya bebebrapa hari yang lalu. Ia bercerita tentang kekesalannya terhadap mantan pacarnya yang tidak bisa diberitahu tentang suatu hal dan malah marah-marah mengatai teman saya bawel. Teman saya mengkhawatirkan ibu mantannya itu akan sakit karena memikirkan anaknya, which is mantan teman saya ini. Fyi, teman saya ini dekat sekali sama ibu mantannya, jadi dia memberitahu mantannya dengan alasan karena dia sayang sekali sama ibu mantannya. Saya mendengarkan kekesalan teman saya sampai selesai, berusaha memahami bahwa teman saya ini mengkhawatirkan keadaan ibu mantannya. Tapi saya juga berusaha memahami dari sudut pandang mantannya, yang walaupun sudah putus dengan teman saya, masih saja harus mendapat nasihat/teguran/kritik atau apapun itu dari bekas pacarnya. Saya pun menyampaikan pendapat saya pada teman baik saya, bahwa mungkin sudah bukan kapasitas teman saya lagi untuk memberitahu mantannya apalagi hal-hal yang berhubungan dengan keluarganya, yang sifatnya lebih intim. Teman saya bersikukuh ia melakukannya karena dia sayang sekali sama ibu mantannya itu. Dan saya menjawab pasti mantannya lebih sayang lagi sama ibunya sendiri. Jadi saya menyarankan teman saya untuk membiarkan saja mantannya itu, masalah siapa lagi yang akan menasihati mantannya yang berhubungan dengan ibunya kalau bukan dia juga sebaiknya tidak terlalu dipikirkan lagi, karena semua orang punya porsinya masing-masing. Terkadang kita tidak bisa mengurusi segala hal, walaupun ingin. Bila teman saya berhenti memberitahu mantannya bukan berarti berhenti mencintai ibu mantannya, anggap saja seperti membiarkan mantannya yang menyadari sendiri dan menjalankan porsinya sebagai seorang anak. Anggaplah membiarkan mantannya belajar sendiri sebagai proses mendewasakan mantannya, dengan demikian teman saya telah menjalankan porsi sebagai bekas pacar, bukan lebih. 

Setelah pembicaraan dengan teman saya itu, tiba-tiba saya berpikir. Ah, masalah menasihati orang  saya memang jagoan, tapi pada kenyataannya, bukankah saya juga terkadang seperti teman saya itu? Menjalankan porsi yang sebenarnya bukan porsi saya atau sudah tidak menjadi porsi saya lagi atau belum menjadi porsi saya. 

Saya pernah begitu sedihnya karena teman lama saya MBA, dan menyayangkan kenapa bisa-bisanya teman lama saya memilih laki-laki yang akhirnya membuat dia hamil. Padahal dia adalah teman lama saya,  dulu pun hubungan kami tidak dekat sekali. Dia teman lama yang saya kangeni karena dulu kami satu organisasi di SMA tapi mungkin dia sendiri bahkan tidak ingat sama saya apalagi kangen. Bukan porsi saya begitu berapi-api menyayangkan kejadian yang menimpanya, toh sudah ada sahabat-sahabatnya yang lebih mengenal dia dan tahu bagaimana menyikapi masalah tersebut dibanding saya yang hanya tahu cerita dari orang lain tentang kehamilannya. Dan sahabat-sahabatnya setia mendukungnya.
Saya juga pernah sewot karena teman saya pacaran dengan orang yang menurut saya tidak cukup baik buat teman saya. Dan jahatnya pernah diam-diam mendoakan mereka segera putus. Lagi-lagi bukan porsi saya untuk menghakimi seperti itu, walaupun dia adalah sahabat saya. Yang paling tahu tentang hubungan pacaran yang dijalani tentunya adalah teman saya dan pasangannya sendiri, bukan saya. Porsi saya sebagai sahabat seharusnya tetap mendukung apapun yang terjadi, apa pun pilihan sahabat saya, walaupun mungkin bertentangan dengan pendapat yang saya percaya. Sahabat saya adalah individu dewasa yang sudah mampu menentukan pilihan dan siap menanggung konsekuensinya, yang harus saya hargai, sejauh pacarnya tidak melukai dirinya secara fisik atau mengganggu mental sahabat saya. 
Atau sesimpel gosipin orang deh. Ngomongin si anu yang gonta ganti cowok tiap minggu dan suudzon kalo dia bukan cewek baik-baik. Padahal kenal sama si anu juga cuma sekedar kenal aja, bukan porsi saya menghakimi dia seperti apa kalau tidak cukup mengenal dia. Atau ngomongin Ariel Peterpan dan video pornonya deh, sekedar informasi sih boleh aja, tapi mengecap Ariel cowok brengsek juga bukan porsi saya deh kayaknya. Gue koar-koar tentang betapa brengseknya Ariel, padahal kalau semua yang melakukan di video porno itu melakukan hubungan intim atas kesepakatan dua belah pihak, ya sah-sah aja dong, seksualitas kan sesuatu yang sifatnya amat pribadi. Yang disalahkan ya pengedarnya. Eh kejauhan ya kayaknya sampe ngebahas Ariel segala hehe.

Padahal ada banyak porsi yang memang porsi saya yang tidak saya lakukan. Misalnya, karena sekarang di rumah gak ada pembantu, saya harus mengurusi urusan rumah dan gak bisa leha-leha aja liburan ini. Kadang saya mengeluh capek karena merasa jadi saya yang harus mengurus semuanya, tapi sebenarnya itu porsi saya kan sebagai anak? Untuk membantu orang tua? Toh dari kecil dulu ibu saya mengurus rumah sambil bekerja  di luar rumah, sambil membesarkan saya dan kakak saya juga, dan ibu saya gak mengeluh. Atau misalnya lagi, porsi saya untuk selalu mengapresiasi dan mendukung teman-teman baik saya. Saya pernah merasa tidak nyaman dengan beberapa teman-teman dekat saya di kampus karena saya merasa mereka tidak cukup mengapresiasi dan mendukung saya, sekedar memuji pun jarang, yang ada cuma  bercanda saling cela. Tapi apakah saya juga sudah menjalankan porsi saya sebagai teman yang baik? Apakah sayacukup mengapresiasi mereka? Memuji alih-alih mencela? Nggak juga tuh. Saya malah lebih sering memuji dan mengapresiasi orang-orang yang tidak segitu dekatnya sama saya. Saya lupa bahwa teman-teman dekat saya bagaimana pun mereka, adalah teman-teman yang ada di sisi saya, dan daripada berpikir tentang teman-teman saya di masa lalu yang menurut saya lebih baik, lebih baik saya bersyukur dan berusaha menjalankan porsi saya sebagai seorang teman dekat. Jika mereka tidak mengapresiasi, maka saya harus mulai mengapresiasi. Percaya saja bahwa porsi yang saya lakukan adalah porsi yang akan saya terima, bahkan mungkin lebih, secara positif. Bukan berarti kita jadi tidak boleh berpendapat tentang masalah orang lain, mungkin berpendapat sudah cukup sebagai porsi "orang luar", tapi menghakimi nggak deh kayaknya. Prioritasnya adalah menjalankan porsi masing-masing, dengan sesuai, baik porsi sebagai diri sendiri, sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai keluarga, atau sebagai "orang luar". Bagaimana kita tahu porsi seberapa yang sesuai? Sebagai orang luar jelas batasan kita adalah tidak menghakimi, tapi sebagai orang dekat, menurut saya banyak-banyaklah mencari tahu diri dan sudut pandang orang yang dekat dengan kita, maka kita akan tahu seberapa besar porsi kita :)

Ah, seandainya setiap orang berusaha menjalankan porsinya masing-masing dengan sesuai, tentu hidup rasanya akan lebih ringan. Saya mau mencoba menjalankan porsi saya dengan sesuai, dan membuat hidup saya jadi lebih nyaman. How about you? ;). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar